Elegi sebuah drama kehidupan, disaat seseorang yang teramat berarti bagi diri kita pergi bagai tertiup angin, ada sebuah ketakutan ketika hidup akan terasa jauh lebih berat.Entah seseorang tersebut adalah istri,suami,anak ataupun sahabat dekat, luka itu terpintas dalam bayang bayang ingatan yang tersingkap dalam bilik kerapuhan.Perhatikan baik baik bagaimana elegi itu dikemas oleh sang sutradara bernama Tom Ford. Bagi yang sudah merasa familiar dengan kiprahnya didunia perancang busana pasti akan bertanya tanya mau apa sih dia masuk ke dunia sinematography? Jika kita menilai hal ini dianggap sebagai sebuah project debutan yang asal asalan maka kita pantas merasa bersalah. Biarkan seorang designer berkarya.Biarkan Tom Ford mengangkat novel yang diakuinya adalah novel kesayangannya itu.Toh pada kenyataanya kita harus mengakui sebuah profesi adalah afirmasi talent dan talent bukan sekedar gaya gayaan.Kembali pada statement "paket yang telah saya singgung tadi apa sih yang menjadi sumbu peletup seorang Tom Ford sehingga merasa sanggup menangani film dari home studio Weinstein Company ini? Tak usah berpikir jauh jauh mari saya antar anda melihat kepiawaian dia mempermainkan "warna" didunia sinema seperti halnya ia mempermainkan kombinasi warna dibusana.
Warna adalah ilustrasi yang paling tepat mengungkapkan secara melankolis beban seperti apa yang sedang ditanggung oleh George Falconer (Collin Firth) Si Profesor sastra inggris maskulin yang sering dipanggil Old Man oleh orang orang terdekatnya. Oh ia sedang ditinggal mati kekasihnya Jim.
Kepergiaan Jim adalah kegundahan.Kepergian Jim adalah kesenduan.Kepergian Jim adalah alasan terbukanya suatu tanda tanya "adakah harga hidup selepas itu"? Dan haruskah ia menuruti kata hatinya untuk segera mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol kedalam mulutnya setelah kehampaan menjalani delapan bulan itu, membuat para nomaters merasa dipanggil panggil "hey hey bantu dong dia.?!''.
Mungkin banyak yang jengkel haruskah kehilangan kekasih semacam itu harus didramatisir dengan porsi porsi yang kelewatan dan terlebih tidak adanya scene scene yang memperkuat arah mengapa ia harus mengakhiri hidup dan sekuat apakah hubungan diantara keduanya?
Jika dianggap mengakhiri hidup dengan cara cara seperti itu dianggap malah sangat romantis ada kalanya ruang didalam cerita ini hendaknya sedikit diperlebar sehingga penontonpun merasa lumrah jika kondisi psikologisnya harus mengatakan demikian.Disaat saat terakhir itulah George menghampiri orang orang terdekatnya, seperti keseharian keluarga Strunk, memberi sedikit uang kedalam amplop kepada pembantunya sebagai ungkapan terima kasih dan terakhir mengunjungi Charly mantan kekasihnya dulu sewaktu mereka di London dulu.
Mungkin banyak yang jengkel haruskah kehilangan kekasih semacam itu harus didramatisir dengan porsi porsi yang kelewatan dan terlebih tidak adanya scene scene yang memperkuat arah mengapa ia harus mengakhiri hidup dan sekuat apakah hubungan diantara keduanya?
Jika dianggap mengakhiri hidup dengan cara cara seperti itu dianggap malah sangat romantis ada kalanya ruang didalam cerita ini hendaknya sedikit diperlebar sehingga penontonpun merasa lumrah jika kondisi psikologisnya harus mengatakan demikian.Disaat saat terakhir itulah George menghampiri orang orang terdekatnya, seperti keseharian keluarga Strunk, memberi sedikit uang kedalam amplop kepada pembantunya sebagai ungkapan terima kasih dan terakhir mengunjungi Charly mantan kekasihnya dulu sewaktu mereka di London dulu.
Pola pola warna yang sarat sarat penafsiran menjadi jembatan transmital menghubungkan apa yang dialami George, apa yang terjadi disekitarnya dan apa yang coba dikenangnya. Biru adalah unsur religi dan merah adalah amarah. Begitu juga ketika kita melihat masa lalu George dan Jim ketika mereka bercengkrama disebuah pebukitan berbatu , layar berpindah drastis menjadi grayscale yang begitu kontras. Ketika ia tersadar dari lamunannya atau masa kini warna layar menjadi sephia dan muram, mengingat masa masa ia masih terkungkung didalam kedukaannya. Berpindah ketika ia keluar ruangan dan melihat keluarga Strunk dan keceriaan anak anak mereka bemain main ditaman warna berubah menjadi amat kontras.
Menyaksikan A Single Man tentu yang menjadi apresiasi yang tinggi pantas disematkan kepada seorang Collin Firth bagaimana ia dapat menterjemahkan karakter metroseksual yang modern,rapi dan sopan.Hampir sedikit ragu juga akankah ia bisa melepaskan image aristokrat inggris yang kaku didalam serial tivi Pride And Prejudice yang sangat kesulitan mengungkapkan perasaannya akan cinta. Ajaibnya pencapaian itu malah ditangani oleh seorang debutan bernama Tom Ford.
Khusus untuk Julian Moore walau dalam porsi peran yang sempit kehadirannya bak sebuah penyegaran bagi saya, lihatlah bagaimana ia mendalami karakter Charly yang bertahan lama hidup tanpa kehadiran suami dan anaknya. Bagaimana ia begitu merasa terhibur dengan dansaannya walaupun tampak begitu ada kegetiran yang teramat dalam diguratan wajahnya. Saya juga mau mengingatkan adegan didepan rumah Charly pada saat George berkunjung , tampak mawar begitu elegannya di shoot dengan warna merah yang kontras. Sebenarnya ada pesan yang begitu halus pengungkapannya ketika George bertemu lagi dengan Charly mantannya yang paling memahami bagaimana dirinya dan kedekatannya dengan Jim.
Namun ketika George sendiri lagi didalam rumahnya warna warna yang cerah itu hilang, bahkan kalau dipikir pikir terlalu menyakitkan jika kita membandingkan warna warna kelam George dengan warna warnanya keluarga Strunk.
Disisi lain Tom Ford memberi gambar gambar shot shot photo seperti yang biasanya tampak di majalah majalah designer yang sangat memperhatikan saturasi warna dan sudut sudut penangkapannya. Seperti ketika George melalui sudut pandangnya melihat seorang pria bermain tennis yang memperlihatkan sudut sudut artistik keindahan tubuh pria, atau ketika sekretaris yang dijumpainya dikampus pengambilan sudut sudut kelopak mata begitu jelas dan cerah.
Menyaksikan A Single Man perubahan dalam hidup itu memang terjadi seperti mengajak kita mengambil asumsi bahwa warna adalah aura hidup. Ia mengajak bahwa setiap interpretasi itu ada maknanya dan setiap makna ada dalam hidup kita jika kita mau mengambil dan bangkit keluar dari itu. Tidakkah hidup terasa sangat menyesakkan ketika warna warna kelabu kita anggap sebagai kebahagiaan dan masa depan yang benar adalah hidup dimasa lampau. Kehadiran Kenny Potter salah satu mahasiswa yang dididiknya menjadi kunci penting disini. Walau seolah olah gerak geriknya mencurigakan dan seperti sedang kerasukan ia seperti metafora yang hadir dihadapan George yang menyadarkan George secara tidak langsung pilihan yang telah ia pilih dicegah olehnya.Dan hey apakah eksekusi kematian George adalah pilihan yang setimpal? Simak saja sendiri...
Menyaksikan A Single Man tentu yang menjadi apresiasi yang tinggi pantas disematkan kepada seorang Collin Firth bagaimana ia dapat menterjemahkan karakter metroseksual yang modern,rapi dan sopan.Hampir sedikit ragu juga akankah ia bisa melepaskan image aristokrat inggris yang kaku didalam serial tivi Pride And Prejudice yang sangat kesulitan mengungkapkan perasaannya akan cinta. Ajaibnya pencapaian itu malah ditangani oleh seorang debutan bernama Tom Ford.
Khusus untuk Julian Moore walau dalam porsi peran yang sempit kehadirannya bak sebuah penyegaran bagi saya, lihatlah bagaimana ia mendalami karakter Charly yang bertahan lama hidup tanpa kehadiran suami dan anaknya. Bagaimana ia begitu merasa terhibur dengan dansaannya walaupun tampak begitu ada kegetiran yang teramat dalam diguratan wajahnya. Saya juga mau mengingatkan adegan didepan rumah Charly pada saat George berkunjung , tampak mawar begitu elegannya di shoot dengan warna merah yang kontras. Sebenarnya ada pesan yang begitu halus pengungkapannya ketika George bertemu lagi dengan Charly mantannya yang paling memahami bagaimana dirinya dan kedekatannya dengan Jim.
Namun ketika George sendiri lagi didalam rumahnya warna warna yang cerah itu hilang, bahkan kalau dipikir pikir terlalu menyakitkan jika kita membandingkan warna warna kelam George dengan warna warnanya keluarga Strunk.
Disisi lain Tom Ford memberi gambar gambar shot shot photo seperti yang biasanya tampak di majalah majalah designer yang sangat memperhatikan saturasi warna dan sudut sudut penangkapannya. Seperti ketika George melalui sudut pandangnya melihat seorang pria bermain tennis yang memperlihatkan sudut sudut artistik keindahan tubuh pria, atau ketika sekretaris yang dijumpainya dikampus pengambilan sudut sudut kelopak mata begitu jelas dan cerah.
Menyaksikan A Single Man perubahan dalam hidup itu memang terjadi seperti mengajak kita mengambil asumsi bahwa warna adalah aura hidup. Ia mengajak bahwa setiap interpretasi itu ada maknanya dan setiap makna ada dalam hidup kita jika kita mau mengambil dan bangkit keluar dari itu. Tidakkah hidup terasa sangat menyesakkan ketika warna warna kelabu kita anggap sebagai kebahagiaan dan masa depan yang benar adalah hidup dimasa lampau. Kehadiran Kenny Potter salah satu mahasiswa yang dididiknya menjadi kunci penting disini. Walau seolah olah gerak geriknya mencurigakan dan seperti sedang kerasukan ia seperti metafora yang hadir dihadapan George yang menyadarkan George secara tidak langsung pilihan yang telah ia pilih dicegah olehnya.Dan hey apakah eksekusi kematian George adalah pilihan yang setimpal? Simak saja sendiri...
Directed By Tom Ford Cast Collin Firth Nicholas Hault Julianne Moore Matthew Goode Running Time 99 minutes Country UK Distributed By Weinstein Company & Fade To Black
MOAN AND NEW LINE CINEMA SCORE
.................
A-
.................
A-